Pelajaran Berharga dari Paula Jeanine
BERKALI-KALI menggelar Festival Budaya Anak Bangsa (FBA), tentu berkali-kali pula mendapatkan pelajaran berharga. Pelajaran tentang dunia pendidikan anak, tentang budaya, tentang pengelolaan talenta remaja dan sebagainya.
Pelajaran-pelajaran tersebut sangat sayang jika hanya sekadar disimpan. Tentu akan lebih bermanfaat jika dibagikan. Tapi, keterbatasan waktu untuk menuliskan pengalaman-pengalaman berharga tersebut selalu menjadi kendala.
Beruntung, saya selalu diberi kemudahan. Ketika niat untuk berbagi begitu tinggi, ada saja jalan yang terbuka di depan. Maka, saya pun bisa menuliskan pengalaman bertemu dengan Paula Jeanine, seniman serbabisa dari Amerika yang menjadi salah satu pengisi workshop di FBA 2013 lalu.
Saya akan ceritakan proses perkenalan saya dengan Paula serta interaksi saya hingga dia bersedia menjadi pengisi acara workshop mini dan pertunjukan di Teater Kecil TIM, Minggu, 24 November 2013 lalu.
Saya ketemu Paula Jeanine pertama kali beberapa jam setelah penutupan Festival Budaya Anak Bangsa 2012, setahun lalu, di Teater Kecil TIM. Saat itu, kami sedang mulai bongkar dan beres-beres usai gelaran FBA. Saya lihat ada bule diantar seorang remaja Indonesia masuk dan melongok ke Teater Kecil.
Saya langsung tertarik mendekatinya karena dia terlihat ramah, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dua karakter yang sangat saya sukai. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat saya merasa ingin lebih kenal. Ternyata pembicaraan ‘’nyambung’’. Berikutnya saya pun membawa murid-murid mahasiswa bahasa Inggris saya ke pertunjukannya bersama Jatiwangi Art Factory di @america, Pacific Place.
Mencengangkan! Saya benar-benar tercengang penuh kekaguman. Karena dalam pertunjukannya saat itu, semua alat musik yang dimainkan terbuat dari genteng/ tanah liat. Selain ada suling, gender, tambur, dan lain-lain. Konsepnya, "menabuh" sebuah desa. Jadi ada rumah-rumahan , pagar bahkan udu yg menyerupai bayi, semuanya bisa dimainkan sebagai musik. Dan pertunjukannya menarik sekali, terasa sangat dekat dan melibatkan penonton. Fantastis!
Usai pertunjukan tersebut, kami pun ngobrol. Paula kemudian setuju untuk tampil di Festival kami tahun 2013. Setelah saling kirim email, Paula datang bulan Oktober. Kami putuskan memasangkan Paula dg kelompok seni Pondok Pesantren Sahid Gunung Menyan Bogor. Kelompok seni ini telah tiga kali mengikuti Festival yang kami gelar. Mereka mulai dengan main gamelan di panggung lobi, lalu pentas tunggal di auditorium pada 2012. Kami pun yakin dengankesungguhan dan kemampuan pengasuhnya, pak Cahyo Tri Winarno. Saya punya feeling, mereka ini cocok untuk dikolaborasikan.
Jadilah, 26 Oktober 2013, kami bertemu Paula untuk langsung ke Bogor. Menuju Pondok Pesantren Sahid Gunung Menyan, Bogor. Itulah pertama kali kami tahu irama lagu Paula. Saya meminta bantuan sahabat saya, penata tari Kusmawati yang sudah tergembleng dengan berbagai acara kolosal seperti --yang terakhir-- drama musikal Ariah, sebagai asisten penata Tari Wiwiek Sipala.
Karena sudah tak sabar mengenal lagunya, kami minta Paula menyanyikannya. Dan saya punmulai menerjemahkan liriknya selama dalam perjalanan itu. Paula sangat senang dan fokus. Dia menyebut proses selama hampir empat jam itu dengan ‘’mobile translators!’’
" This is great! Look at us, this is a mobile translators!!” teriaknya. Paula tampak sangat senang. Canda tawa kami produktif juga dengan berhasilnya terjemahan lirik dari lagu Paula. Selain produktif, kami juga konsumtif hehehe… terbukti, aneka jajan pasar yang kami bawa juga ludes selama perjalanan....
Perjalanan empat jam itu pun tak terasa lama. Malah mengasyikkan. Apalagi, perjalanan berakhir dengan kejutan: kami disuguhi luasnya dan indahnya alam kompleks Pondok Pesantren yang berbukit-bukit.
Kami pun bertemu dengan 22 remaja putri yang akan bermain musik, menyanyi dan memberi tafsir gerak untuk lagu Melati dan Tanah Liat.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari proses kreatif bersama Paula ini? Saya sangata merasakan, hal menarik dari proses kolaborasi ini adalah Paula sangat memikirkan hal-hal apa yg menarik bagi para remaja putri usia 14 hingga 16 tahun. Ia ingin semua merasa memiliki lagu - lagu ini. Sehingga Paula memberikan satu segmen agar para remaja putri bisa memberikan sentuhanpribadi mereka. Di bagian ini masing-masing memperkenalkan diri dan memilih satu kata yg paling mereka sukai. Misalnya saja, Nana suka awan biru. Maka, dia bisa mengekspresikannya dengan kata-kata: "Aku Nana. Aku adalah awan di langit biru" atau "Aku Faradiba. Aku adalah harimaaaauuuw!". Dan seterusnya. Anak-anak diberi kebebasan mengekspresikan ide-idenya. Tak ada yang salah, tak ada yang keliru terhadap apapun pilihan mereka.
Selama lima kali pertemuan, Paula selalu menghargai kemajuan para remaja putri ini. Sehingga setelah pertunjukan, saya yakin ini adalah kenangan luar biasa bagi kedua pihak . Kenangan yang akan menghangatkan hati mereka melewati batasan ruang dan waktu. Bahwa dalam proses kreatif, yang ada hanyalah prinsip sederhana: saling memberi dan menerima.
Budaya, dalam hal ini seni sekali lagi terbukti menjadi ladang subur tempat kita menyemai benih - benih untuk saling memahami, saling menghargai dan saling mempercayai.
Budaya, memberi kita pijakan kokoh untuk menjadi manusia yg percaya diri dan bermartabat.
Semoga kita terus diberi kesempatan untuk menumbuhsuburkan benih-benih kreativitas budaya anak-anak kita. Sampai ketemu di FBA 2014. (Oetari Noor Permadi)